Warisan Mbok Yem: Dari Galian Tanah di Lawu hingga Jadi Penolong Ribuan Pendaki
Magetan, Jawa Timur — Sosok legendaris Gunung Lawu, Mbok Yem, telah berpulang di usia 82 tahun pada Rabu (23/4/2025) siang. Namanya tak hanya dikenal di kalangan warga sekitar, tapi juga melekat kuat di hati para pendaki yang pernah menapaki puncak Gunung Lawu. Di balik warung sederhana yang ia dirikan di dekat puncak, tersimpan kisah perjuangan luar biasa yang dimulai dari tidur di galian tanah hutan demi mencari tumbuhan jamu.
Syaiful Gimbal, cucu Mbok Yem, mengenang masa kecilnya ketika sempat ikut sang nenek ke hutan. Saat itu, ia baru duduk di bangku kelas 5 SD.
“Mbok Yem kalau bermalam di hutan Lawu, tidurnya menggali sisi bukit. Dibuat lubang untuk tempat tidur biar hangat, karena di luar sangat dingin,” tutur Syaiful di rumah duka di Dusun Dagung, Desa Gonggang, Kecamatan Poncol, Magetan.
Dari Pencari Jamu ke Penjaga Puncak
Sebelum mendirikan warung di jalur pendakian, Mbok Yem hanyalah seorang perempuan desa yang mencari tanaman herbal di belantara Gunung Lawu. Ia menjual hasil temuannya untuk menyambung hidup. Namun semuanya berubah ketika suatu hari ia bertemu pendaki yang kelaparan dan tak membawa bekal. Dari bekal yang dibawanya sendiri, ia mulai berbagi makanan — dan dari sanalah lahir warung legendaris Mbok Yem.
“Awalnya karena ada pendaki yang butuh makan, Mbok Yem coba jual makanan. Lama-lama jadi warung yang terus ramai,” kata Syaiful.
Warung Mbok Yem bukan sekadar tempat makan. Selama lebih dari 35 tahun, tempat itu menjadi pelindung dari dingin dan lapar bagi ribuan pendaki. Banyak yang mengaku diselamatkan oleh kehangatan nasi hangat dan teh panas dari tangan Mbok Yem.
Sumber Semangat dari Puncak Lawu
Rina Prayekti, pendaki yang kerap naik ke Lawu untuk mencari ketenangan, mengaku sangat kehilangan sosok Mbok Yem.
“Mbok Yem selalu memberi semangat. Kalau saya curhat, dia selalu bilang hidup harus dijalani, jangan nangis,” ungkap Rina.
Warung Mbok Yem menjadi tempat persinggahan yang hangat — bukan hanya karena makanan, tapi juga karena hatinya yang besar. Siapa pun boleh singgah, bahkan tidur di warungnya untuk menghindari dinginnya malam pegunungan.
Pamit Sebelum Istirahat
Sebelum wafat, Mbok Yem sempat dirawat lebih dari dua minggu di RSU Aisyiyah Ponorogo akibat pneumonia. Menurut keluarga, ia sempat ingin berhenti berjualan untuk beristirahat dan lebih banyak bersama cucu-cucunya.
“Rencananya Mbok Yem memang mau istirahat kalau sudah sembuh. Tapi belum kesampaian,” kata Syaiful haru.
Mbok Yem telah berpulang, namun kisahnya tetap hidup — dalam kenangan para pendaki, dalam aroma jamu yang pernah ia petik dari hutan, dan dalam semangat hidup yang ia ajarkan dari balik warung kecil di puncak Lawu.